Pages

Friday, May 17, 2019

BMKG Jadi Pembicara Utama di Forum Penanganan Bencana Dunia

Indonesia punya pengalaman yang membuat dunia mencontoh upaya penanganan becana alam.

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Prof. Dwikorita Karnawati menjadi pembicara utama dalam forum internasional Persatuan Bangsa Bangsa (PBB), Second Multi-Hazard Early Warning Conference (MHEWC-II),di Jenewa Swiss. Dwikorita mengajak pemerintah di seluruh dunia untuk memperkuat sistem peringatan dini multi-bencana yang dimiliki di setiap masing-masing negara,

Caranya, dengan menerapkan sistem yang terintegrasi antarlembaga ataupun antarpihak-pihak terkait . Ini semua akan semakin baik jika dibantu dengan dukungan inovasi teknologi yang tanpa mengabaikan kekuatan dan kearifan lokal.

Untuk menguatkan dan menjaga efektivitas peringatan dini multi-bencana ini perlu adanya peraturan/regulasi yang mengatur beberapa hal penting. Seperti koordinasi, harmonisasi, dan sinergi peran, serta data integrasi antarlembaga ataupun antarpihak terkait dalam sistem integrasi peringatan dini tersebut.

“Indonesia belajar dari kejadian gempa bumi dan tsunami di Palu dan Selat Sunda, kejadian ini menunjukkan bahwa wilayah Indonesia memiliki karakteristik kegempaan baru yang jarang terjadi,” ujar Dwikorita, dalam keterangan persnya, Jumat (17/5).

Tidak hanya itu, lanjut Dwikorita, Indonesia pun memiliki karakteristik cuaca dan iklim yang unik. Tentunya, kata Dia, ini menjadi sebuah tantangan khususnya bagi pemerintah Indonesia. Ini mengingat Indonesia berada di  dalam lingkaran Cincin Api Pasifik yang terbentuk oleh gerak lempeng tektonik aktif.

“Cincin Api Pasifik adalah zona berbentuk tapal kuda dan menjadi sabuk gempa paling aktif di Dunia. Bukan hanya Indonesia, negara lain, seperti Jepang, Taiwan, dan Selandia Baru pun masuk dalam Cincin Api Pasfik tersebut,” terangnya.

Dia mengatakan, ledakan populasi yang semakin meningkat, mengakibatkan tingginya kerentanan terhadap bencana hidrometeorologi, iklim ekstrim, bahkan gempa bumi dan tsunami.  “Untuk pengurangan dampak resiko bencana, kearifan lokal dan aspek sosial sangat dibutuhkan dalam menjaga efektivitas  dan keberhasilan sistem peringatan multi-bencana, tersebut, " sambung Dwikorita.

Menurutnya, pada saat ini belum terbukti adanya teknologi yang mampu memberikan peringatan dini dalam waktu kurang dari tiga menit setelah gempa terjadi, seperti yang dibutuhkan untuk kejadian tsunami di Palu. Waktu datangnya tsunami Palu kurang lebih 2 menit setelah terjadi gempa, sebelum peringatan dini diberikan pada menit kelima.

Kemudian, berdasarkan evaluasi dari berbagai kejadian tsunami, terbukti belum ada sistem atau teknologi yang sempurna dalam memberikan peringatan dini. Itu karena hampir selalu ada hal-hal yg terjadi di luar perkiraan pada saat  kejadian bencana di berbagai negara. Dengan berbagai keterbatasan yang masih ada, maka Dwikorita menegaskan, kearifan lokal serta teknologi sederhana yang lebih mudah dipahami dan dioperasikan oleh masyarakat tetap harus diterapkan/diintegrasikan dalam sistem peringatan dini berbasis teknologi maju.

"Melalui pertemuan ini  sebagai tindak lanjut Sendai Framework, dapat dijadikan langkah bagi negara-negara internasional  untuk melakukan  pengurangan dampak resiko bencana alam melalui pengembangan sistem peringatan Dini Multi-Bencana," ungkapnya

Konferensi ini berlangsung selama dua hari dari 13-14 Mei 2019 di Jenewa, Swiss. Penyelenggaraannya dilakukan secara berurutan dengan Global Platform for Disaster Risk Reduction 2019. Ini bertujuan untuk mengoordinasikan dan mendorong peningkatan kapasitas negara-negara di seluruh dunia dalam mengimplementasikan dan mengembangkan Sistem Peringatan Dini Multi-Bencana. Sistem ini dibutuhkan dalam pengurangan resiko becana yang lebih baik dan lebih terkoordinasi di negara masing-masing.

Let's block ads! (Why?)


http://bit.ly/2WNLoWM
May 17, 2019 at 02:32PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2WNLoWM
via IFTTT

No comments:

Post a Comment