REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat ini kejahatan pornografi sudah semakin mengkhawatirkan. Bukan hanya masih massifnya produk pornografi yang mampu membangkitkan hasrat seksual seseorang yang didistribusikan melalui berbagai bentuk media, namun juga sudah dipakainya produk pornografi itu untuk pemerasan, pengancaman, dan juga pencemaran nama baik. Pelakunya juga beragam dilihat dari latar belakang status sosial ekonomi maupun secara geografi, yaitu bukan hanya di kota besar, namun juga dari berbagai pelosok daerah di Indonesia.
Demikian antara lain diungkapkan oleh Ketua Gerakan Jangan Bugil Depan Kamera (JBDK) Peri Farouk dalam diskusi dan sarasehan “Upaya Mengoptimalkan Penegakan Undang-Undang (UU) Pornografi dan Isu-Isu Terkait” yang diadakan oleh JMS Center bekerjasama dengan Perhimpunan Masyarakat Tolak Pornografi (MTP), Komite Pemberantasan Pornografi dan Pornoaksi Indonesia (KIP3), dan Gerakan JBDK , Kamis, 16 Mei 2019 di Perpustakaan Al Iskandariy, Duren Sawit, Jakarta Timur. Dalam kesempatan tersebut, hadir juga sebagai pembicara Azimah Subagijo, Ketua Umum Perhimpunan MTP, Juniwati Masjchun Sofwan Ketua KIP3, dan Adil Quarta Anggoro Ketua Divisi Pelatihan Perhimpunan MTP.
Peri mengatakan, bahwa pelaku penyebaran produk pornografi dengan pengancaman dan pemerasan ini, ada yang merupakan orang dekat korban. Namun, ada juga orang yang baru dikenal karena ada keperluan tertentu.
Untuk bentuk-bentuk kejahatan pornografi dengan pengancaman dan pemerasan ini, tentunya pihaknya sudah berkoordinasi dengan kepolisian agar pelakunya mendapat sanksi yang optimal.
“Yang terbanyak adalah pacar atau mantan pacar, namun ada juga debt collector yang menggunakan produk pornografi untuk mengancam orang lain agar membayar hutangnya, dan bahkan supir taksi online yang memaksa penumpangnya menyaksikan adegan masturbasi, “ujar Peri Farouk dalam keterangannya yang diterima Republika.co.id, Jumat (17/5).
Untuk itu, Peri yang juga beberapa kali menjadi saksi ahli tindak pidana pornografi ini, kerap mengusulkan untuk menjerat pelaku dengan memakai pasal-pasal di UU Pornografi bersama-sama dengan UU ITE agar bisa memberi pemberatan sanksi pada pelaku.
Pornografi picu kejahatan seksual
Sementara itu, Ketua Perhimpunan Masyarakat Tolak Pornografi (MTP) Azimah Subagijo dalam kesempatan yang sama juga mendukung agar pelaku kejahatan pornografi ini dapat dihukum berat yang menjerakan. Mengingat, akibat dari kejahatan pornografi ini sangat sangat dekat dan bahkan seringkali menjadi pemicu kejahatan seksual lainnya seperti perkosaan dan pencabulan pada anak-anak maupun disabilitas.
Menurut dia, secara tampilan fisik anak-anak maupun disabilitas, tentunya jarang yang mempunyai kemampuan membangkitkan hasrat seksual seseorang. Namun, karena relasi kuasa yang menempatkan mereka dalam kondisi lemah, sementara wali atau orangtuanya tidak mampu memberi perlindungan yang memadai, berakibat mereka rentan menjadi korban kejahatan seksual oleh orang yang terpapar atau kecanduan produk pornografi.
"Hal ini karena para penyuka pornografi itu, sudah terangsang hasrat seksualnya oleh materi pornografi, dan menjadikan anak-anak atau disabilitas ini sebagai pelampiasannya,” ujar Azimah.
Untuk itu, Azimah yang juga salah satu tim perumus Undang-Undang Pornografi (2006-2008) ini mendorong aparat penegak hukum untuk dapat juga menyelidiki lebih jauh kasus-kasus kejahatan seksual seperti perkosaan dan pencabulan bahkan dengan penyimpangan seksual dengan korban anak-anak dan disabilitas. Dan bila ternyata ditemukan bahwa pemicunya adalah kebiasaan pelaku menggunakan produk pornografi, agar menjadi pertimbangan aparat penegak hukum untuk memberikan pemberatan hukuman pada pelaku.
Sehingga, menurutnya, pemberatan pada pelaku kejahatan seksual dengan penggabungan dua atau lebih undang-undang ini lebih dapat diterapkan segera ketimbang menunggu hadirnya undang-undang baru terkait kejahatan seksual yang berpotensi menimbulkan pro dan kontra.
“Dengan menggabungkan sanksi pada KUHP untuk kejahatan seksual seperti perkosaan dan pencabulan dan sanksi pada Undang-Undang Pornografi maupun Undang-Undang ITE, diharapkan pelaku mendapat sanksi yang lebih berat, sehingga dapat membuat jera. Selain itu, juga lebih memberi rasa keadilan bagi korban. Mengingat kejahatan seksual sangat besar pengaruhnya bagi korban karena mengakibatkan trauma berkepanjangan,” ucap Azimah.
UU pornografi
Untuk itu, pada diskusi dan sarasehan ini Adil Quarta Anggoro mengingatkan kembali kepada para peserta akan arti penting hadirnya UU Pornografi. Bahwa undang-undang ini bukanlah bermaksud untuk mencampuri wilayah privat warga negara, namun terutama menyasar kepada pelaku baik orang per orang maupun korporasi yang menjadikan produk pornografi sebagai komoditi di tengah-tengah masyarakat.
Sebelum hadirnya UU Pornografi, kata dia, tatanan hukum di negara kita hanya mengenal istilah kesusilaan dan kecabulan. Padahal, istilah pornografi sudah sejak lama ada dan sudah pula menjadi industri yang berpotensi membawa dampak buruk bagi masyarakat. "Untuk itu, perlu diatur dalam sebuah undang-undang,” ungkap Adil.
Senada dengan Adil, Juniwati T Masjchun pelaku sejarah yang mendorong lahirnya UU Pornografi, berharap, agar penegakan UU Pornografi dapat lebih dioptimalkan. Jangan sampai ada orang-orang yang justru mendapat keuntungan dari derita orang lain yang kecanduan pornografi. Apalagi jika kemudian sampai membuat anak-anak dan remaja menjadi korban sekaligus menjerumuskan mereka menjadi pelakunya.
“Kami para penggagas dan pendorong lahirnya UU Pornografi berjuang sejak tahun 2000, hingga akhirnya UU Pornografi disahkan pada tahun 2008. Tujuannya terutama agar anak-anak dan remaja terlindungi dari bahaya pornografi, dan agar kejahatan seksual juga tidak mewabah akibat muatan pornografi yang tersebar melalui media,” ujar Juniwati yang juga Ketua KIP3 ini.
http://bit.ly/2W6YX6n
May 17, 2019 at 04:45PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2W6YX6n
via IFTTT
No comments:
Post a Comment