REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Sejumlah militan menyerbu Kementerian Luar Negeri Libya di ibu kota Tripoli pada Selasa (25/12). Dua bom bunuh diri meledak dan menewaskan sedikitnya tiga orang, termasuk seorang pegawai negeri senior, serta melukai 10 orang lainnya.
Serangan pertama merupakan bom mobil yang meledak di dekat gedung kementerian. Setelah mendapat laporan mengenai ledakan itu, pasukan keamanan Libya bergegas ke lokasi kejadian.
Menurut juru bicara pasukan khusus Libya, Tarak al-Dawass, seorang pelaku bom bunuh diri kemudian meledakkan dirinya di lantai dua gedung kementerian. Sementara militan ketiga tewas ketika koper yang dibawanya tiba-tiba meledak.
Militan lainnya, yang tidak bersenjata dan mengenakan rompi anti-peluru, berhasil ditembak mati oleh pasukan keamanan. Gumpalan asap terlihat di atas gedung ketika ambulans dan paramedis berkumpul di luar.
Pada Rabu (26/12) pagi, kelompok militan ISIS mengaku bertanggung jawab atas serangan itu melalui situs berita Amaq. Sementara itu, sumber dari Tripoli Revolutionaries Brigade, salah satu kelompok bersenjata terkuat di ibu kota, mengatakan juru bicara mereka, Abdulrahman Mazoughi, ikut tewas dalam serangan itu.
Kontributor Aljazirah, Mahmoud Abdelwahed, yang melaporkan langsung dari Tripoli, mengatakan pasukan keamanan Libya telah menutup daerah itu dan mengambil kendali atas semua bangunan di sekitar Kementerian Luar Negeri. Semua warga dan karyawan juga telah diperintahkan untuk segera meninggalkan kawasan tersebut.
"Orang-orang Libya berperang melawan terorisme atas nama dunia," ujar Kementerian Luar Negeri Libya, dalam pernyataan.
Libya telah terpecah belah oleh perebutan kekuasaan dan dirusak oleh ketidakamanan sejak pembunuhan Muammar Gaddafi pada 2011. Negara itu memiliki setidaknya dua pemerintahan saingan, satu berpusat di ibu kota Tripoli yang diakui oleh PBB dan satu lagi di kota timur Tobruk.
Ada juga lusinan kelompok bersenjata yang ikut berlomba memperebutkan kekuasaan dan kekayaan negara. Para pembom bunuh diri menargetkan sejumlah lembaga vital Libya, saat kelompok-kelompok bersenjata mengambil keuntungan dari situasi politik yang kacau di negara itu.
"Kami telah dihabisi oleh pertempuran internal dan persaingan kami sendiri," ujar Menteri Dalam Negeri Libya, Fathi Bashagha, kepada wartawan di Tripoli setelah serangan itu.
"Itu sebabnya kami tidak bisa memiliki pasukan keamanan resmi yang dilengkapi dan dilatih dengan baik untuk mencegah serangan seperti itu. Kami memiliki banyak tantangan tetapi kami tidak akan pernah menyerah," kata dia.
Menteri Luar Negeri Libya, Mohamed Sayalah, meminta bantuan masyarakat internasional dan menyerukan pencabutan embargo senjata PBB di Libya. Embargo itu diperkenalkan pada 2011 ketika Libya masuk ke dalam kekacauan.
"Ini adalah pesan kepada masyarakat internasional. Kami telah menuntut agar embargo senjata terhadap Libya dicabut," kata dia.
"Keamanan tidak dapat dipertahankan di Libya kecuali Dewan Keamanan PBB memberi kami pengecualian dengan mencabut embargo senjata pada senjata-senjata tertentu sehingga kami dapat memerangi terorisme," kata Sayalah.
http://bit.ly/2Q1vGmH
December 26, 2018 at 01:49PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2Q1vGmH
via IFTTT
No comments:
Post a Comment