REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Umar bin Abdul Aziz merupakan salah seorang pemimpin yang terkenal kebijaksanaannya dalam sejarah peradaban Islam. Seperti diceritakan Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar.
Pada zaman pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, ada seorang pengawas Baitul Maal yang menghadiahkan kalung emas kepada anak perempuan amirul mu`minin itu.
Beberapa waktu kemudian, Khalifah Umar melihat putrinya sedang menenteng kalung emas tadi, yang belum pernah dilihatnya sebelumnya.
“Dari mana engkau mendapatkannya?” tanya Umar bin Abdul Aziz kepada buah hatinya itu.
Putrinya menjawab, kalung emas itu diperolehnya dari penjaga Baitul Maal. Merasa tidak ada yang salah, maka dibawalah benda indah itu ke rumah. Sang putri dinasihatinya.
“Takutlah kau wahai anakku tercinta bahwa engkau kelak akan datang ke hadapan Pengadilan Allah dengan barang yang kau curangi ini dan akan kuselidiki dengan saksama,” tutur sang khalifah.
Dia juga mengingatkan tentang Alquran surah Ali Imran ayat 161. Artinya, “Tidaklah ada seorang nabi pun berlaku curang. Dan barangsiapa berlaku curang (ghulul), maka akan datanglah dia dengan barang yang dicuranginya itu pada Hari Kiamat. Kemudian , setiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang dia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedangkan mereka tidak akan dianiaya.” Maka dikembalikanlah kalung emas tersebut ke Baitul Maal.
Sebagai pejabat negara, Khalifah Umar bin Abdul Aziz berprinsip sangat hati-hati (wara’) dalam menggunakan fasilitas negara.
Dikisahkan bahwa suatu ketika, pemimpin Muslimin itu harus menyelesaikan tugas di ruang kerjanya hingga larut malam. Tiba-tiba, putranya mengetuk pintu ruangan dan meminta izin masuk. Umar pun mempersilakannya untuk mendekat.
“Ada apa putraku datang ke sini?” tanya Umar, “Apa untuk urusan keluarga kita atau negara?”
“Urusan keluarga, Ayah,” jawab sang anak.
Langsung saja Umar bin Abdul Aziz meniup lampu penerang di atas mejanya, sehingga seisi ruangan gelap gulita.
“Mengapa Ayah melakukan ini?” tanya putranya itu keheranan.
“Anakku, lampu itu ayah pakai untuk bekerja sebagai pejabat negara. Mintak untuk menghidupkan lampu itu dibeli dengan uang negara, sedangkan engkau datang ke sini akan membahas urusan keluarga kita,” jelasnya.
Dia lantas memanggil pembantu pribadinya untuk mengambil lampu dari luar dan menyalakannya.
“Sekarang, lampu yang kepunyaan keluarga kita telah dinyalakan. Minyak untuk menyalakannya dibeli dari uang kita sendiri. Silakan lanjutkan maksud kedatanganmu,” kata sosok berjulukan "khulafaur rasyidin kelima" itu lagi.
Demikianlah, bermula dari sikap wara’ para elite, penegakan hukum tanpa tebang-pilih dan demokratis, hingga pelaksanaan hukuman yang keras di depan publik, merupakan beberapa jalan yang dapat ditempuh.
Baca juga: Ketika Khalifah Umar Tegas Menghukum Putranya Sendiri
Bila para pemimpin sudah seusia kaidah agama, maka rakyat di bawah pun akan tergerak untuk memelihara norma-norma yang sama.
Merebaknya kasus korupsi di tengah komunitas Muslim sesungguhnya ironis. Sebab, hal itu berarti diseminasi ajaran agama cenderung berhenti di tataran simbol atau teks belaka. Belum sampai menyerap ke dalam pori-pori jiwa kolektif mereka, mulai dari level elite sampai rakyat jelata.
https://ift.tt/2IDKr0q
February 26, 2019 at 03:09PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2IDKr0q
via IFTTT
No comments:
Post a Comment