REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nidia Zuraya*
Sejak 16 Februari 2019, PT Pertamina (Persero) telah menurunkan harga jual bahan bakar pesawat terbang (avtur, red). Langkah Pertamina menurunkan harga jual avtur ini sesuai dengan Keputusan Menteri ESDM Nomor 17/2019.
Pertamina menyatakan secara rutin melakukan evaluasi dan penyesuaian harga avtur secara periodik, yaitu sebanyak dua kali dalam sebulan. Bahkan perusahaan migas pelat merah ini mengklaim harga jual avtur di Bandara International Soekarno-Hatta saat ini lebih rendah sekitar 26 persen dibandingkan harga avtur (published rate) di Bandara Changi Singapura.
Harga avtur di Bandara Soekarno-Hatta per 16 Februari 2019 turun dari sebelumnya Rp 8.210 per liter menjadi Rp 7.960 per liter. Sementara harga avtur di Bandara Changi yang terpantau per tanggal 15 Februari 2019, sekitar Rp 10.769 per liter.
Komponen pembiayaan avtur dalam bisnis maskapai mencapai 40 persen. Persentase pembiayaan avtur tersebut merupakan komponen terbesar yang harus ditanggung maskapai dibanding komponen lainnya.
Meski Pertamina sudah menurunkan harga avtur, nyatanya dampaknya terhadap penurunan harga tiket pesawat belum sepenuhnya dirasakan oleh konsumen di dalam negeri. Penurunan harga tiket yang dilakukan pihak maskapai tidak dilakukan untuk semua rute domestik.
Maskapai AirAsia Indonesia, misalnya, kendati memberikan diskon sebesar 20 persen, namun diskon tersebut hanya berlaku untuk rute penerbangan tujuan Bali, Surabaya, Penang, Kuala Lumpur, dan Hong Kong. Tawaran diskon ini pun hanya berlaku untuk penerbangan hingga 31 Juli 2019.
Langkah serupa juga ditempuh Garuda Indonesia yang menurunkan harga tiket Jakarta-Padang dan untuk rute sebaliknya mulai dari Rp 999.999 atau lebih rendah 40 persen dari harga normal. Harga tersebut belum termasuk pajak PPN, Passenger Service Charge (PSC), dan asuransi.
Potongan harga tiket Garuda Indonesia rute Jakarta-Padang dan sebaliknya ini hanya berlaku hingga 12 April 2019 dengan kondisi tertentu. Lalu bagaimana dengan rute-rute lainnya?
Selain Padang, pihak Garuda masih menimbang-nimbang untuk menurunkan harga tiket untuk sejumlah rute domestik, seperti Batam, Palembang, Medan dan Jayapura.
Mengubah wajah bisnis penerbangan nasional
Jatuhnya pesawat AirAsia dengan nomor penerbangan QZ8501 rute Surabaya-Singapura pada 28 Desember 2014 silam menjadi momentum bagi regulator penerbangan di Indonesia untuk meninjau kembali aturan tarif tiket maskapai penerbangan berbiaya murah atau low cost carrier (LCC).
Pascatragedi naas tersebut, Menteri Perhubungan saat itu, Ignasius Jonan, mengeluarkan kebijakan menaikkan tarif batas bawah untuk tiket pesawat. Kebijakan itu secara tidak langsung mengisyaratkan agar maskapai tidak jor-joran menawarkan tiket murah demi menjaring penumpang.
Sebelum peristiwa jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501, sebagai pengguna transportasi udara saya ingat betul pada tahun 2012 masih bisa menikmati penerbangan dari Jakarta ke Surabaya (Pulang-Pergi) dengan Citilink seharga Rp 424.182. Masih di tahun yang sama, saya juga bisa mendapatkan tiket untuk rute Jakarta-Yogyakarta (PP) dengan harga kurang dari Rp 500 ribu.
Bahkan pada 2011, saya dan suami bisa travelling ke Ho Chi Minh (Vietnam) dari Jakarta hanya dengan membayar tiket AirAsia seharga Rp 125 ribu untuk satu kali perjalanan per orang. Sementara untuk pulangnya (Ho Chi Minh-Jakarta), kami membayar tiket seharga Rp 215 ribu per orang.
Kebijakan mengenai tarif penerbangan murah kembali menjadi sorotan saat terjadi kecelakaan pesawat Lion Air JT 610 Boeing 737 MAX 8 rute Jakarta-Pangkalpinang pada 28 Oktober 2018 lalu. Setelah pesawat JT 610 Boeing 737 MAX 8 jatuh di Tanjung Karawang, Jawa Barat, pemerintah serius untuk mengkaji ulang tarif batas bawah penerbangan pesawat murah.
Menhub Budi Karya Sumadi mengungkapkan, kajian mengenai adanya pembahasan tarif pesawat murah dilakukan karena adanya indikasi kelalaian pemeriksaan mesin pesawat dari pihak maskapai penerbangan. Kelalaian ini tidak terlepas dari kondisi keuangan maskapai penerbangan.
Dua tragedi kecelakaan pesawat tersebut memang mengubah wajah bisnis penerbangan di Indonesia. Tak ada lagi tiket pesawat untuk rute domestik yang dibandrol dengan harga di bawah harga Rp 300 ribu untuk satu kali perjalanan seperti yang pernah saya rasakan sebelum tahun 2015.
Kalaupun sejumlah maskapai mulai menurunkan harga tiket, penurunannya tidak sebesar saat seperti tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, penurunan harga tiket hanya berlaku untuk destinasi dan jam-jam tertentu saja.
Pada kenyataannya, maskapai tak lagi dapat menyediakan tiket dengan harga terjangkau seperti tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan maskapai penerbangan nasional tengah memperbaiki kinerja keuangan yang memburuk sejak empat tahun terakhir.
Akibat kerugian yang terus diderita maskapai, mau tak mau, harga tiket ditarik ke tarif batas atas. Bye bye era tiket pesawat murah.
*) Penulis adalah Redaktur Republika.co.id
https://ift.tt/2NKyF3s
March 07, 2019 from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2NKyF3s
via IFTTT
No comments:
Post a Comment