REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, menjatuhkan vonis delapan tahun penjara serta denda Rp 1 miliar subsidier empat bulan kurungan kepada Anggota Komisi I DPR, Fayakhun Andriadi. Vonis lebih rendah dari tuntutan 10 penjara jaksa penuntut umum KPK.
"Menyatakan terdakwa Fayakhun secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan beberapa tindak pidana korupsi secara berlanjut sebagaimana dalam dakwaan primer," kata Ketua Majelis Hakim Franky Tambuwun saat membacakan vonis di Ruang Sidang Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (21/11).
Majelis hakim juga menjatuhkan vonis tambahan pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama lima tahun terhitung selesai menjalani pidana pokok. Dalam putusan terhadap Fayakhun, majelis hakim juga menolak permohonan justice collabolator yang diajukan oleh Fayakhun.
"Pertimbangan JC, sesuai SEMA 14/2016 harus mengakui kejahatan bukan pelaku utama dan JPU mengatakan dalam tuntutan bahwa yang bersangkutan memberikan keterangan yang signifikan. Sehingga dasar itu permohonan JC tidak dikabulkan," ujar Anggota Majelis Hakim, Ansyori Saifuddin.
Adapun, hal yang memberatkan Fayakhun adalah karena perbuatannya tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi. Perbuatan Fayakhun juga dinilai telah mencederai amanat yang diembannya sebagai wakil rakyat di DPR.
Sementara hal yang meringankan terdakwa bersikap sopan selama menjalani persidangan, belum pernah dihukum dan masih punya tanggungan keluarga. Fayakhun juga mengakui dan menyesali perbuatannya serta telah mengembalikan sebagian uang suap yang diterimanya.
Fayakhun Andriadi terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut. Dalam perbuatannya, Fayakhun telah menerima uang suap 911.480 dolar AS. Uang tersebut diduga diberikan oleh Direktur Utama PT Merial Esa, Fahmi Darmawansyah.
Uang tersebut diberikan kepada Fayakhun yang merupakan anggota Komisi I DPR RI agar mengupayakan alokasi penambahan anggaran Badan Keamanan Laut Republik Indonesia untuk proyek pengadaan satelit monitoring dan drone dalam usulan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016. Adapun, kongkalikong suap proyek ini berawal pada April 2016, saat kunjungan kerja Komisi I DPR ke kantor Bakamla di Jalan Sutomo No. 11 Jakarta Pusat, Fayakhun bertemu dengan Ali Fahmi Habsyi yang mengaku sebagai staf khusus Kepala Bakamla dan meminta Fayakhun agar mengupayakan usulan penambahan alokasi anggaran di Bakamla.
Sebelumnya, Ali Fahmi juga sudah menawarkan proyek Bakamla kepada Direktur PT Melati Technofo Indonesia, Fahmi Darmawansyah pada Maret 2016. Dalam pertemuan berikutnya, Ali Fahmi mengatakan kepada Fayakhun, bahwa nantinya akan disiapkan fee sebesar 6 persen dari nilai anggaran proyek untuk pengurusan anggaran tersebut.
Pada 29 April 2016, Fayakhun memberitahu Fahmi Dharmawansyah bahwa rekan-rekan anggota Komisi I DPR memberikan respons positif atas pengajuan tambahan anggaran Bakamla sebesar Rp 3 triliun dalam usulan APBN-P 2016. Fayakhun mengatakan, nantinya dari tambahan anggaran tersebut, terdapat proyek satelit monitoring dan drone senilai Rp 850 miliar.
Bahkan, Fayakhun juga mengatakan akan mengawal usulan alokasi tambahan anggaran di Komisi I DPR untuk proyek-proyek di Bakamla dengan syarat Fayakhun mendapatkan komitmen fee dari Fahmi untuk pengurusan tambahan anggaran tersebut. Fayakhun selanjutnya meminta tambahan komitmen fee 1 persen untuk dirinya dari nilai fee sebelumnya sebesar 6 persen. Sehingga, total fee yang harus disiapkan menjadi sebesar 7 persen dari nilai proyek Mei 2016.
Usai mendengarkan vonis dari Majelis Hakim, Fayakhun dan JPU KPK memilih untuk berpikir-pikir terkait vonis yang dijatuhkan majelis hakim.
https://ift.tt/2zmsjBr
November 21, 2018 at 06:54PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2zmsjBr
via IFTTT
No comments:
Post a Comment