REPUBLIKA.CO.ID, WELLINGTON -- Polisi Selandia Baru mendakwa pria yang dituduh membunuh dalam penembakan di dua masjid Christchurch pada Maret, terlibat dalam aksi terorisme, Selasa (21/5). Dakwaan terorisme tersebut menjadi yang pertama kali dalam sejarah negara itu.
Polisi menyatakan, dakwaan terorisme di bawah undang-undang pemberantasan terorisme yang menjerat Brenton Tarrant.
"Dakwaan itu menyatakan tindakan terorisme dilakukan di Christchurch," kata Komisaris Polisi, Mike Bush dalam sebuah pernyataan, Selasa (21/5).
Pada serangan yang disiarkan langsung di Facebook, seorang pria bersenjata dengan senjata semi-otomatis menargetkan umat Islam pada 15 Maret. Aksi terorisme menewaskan 51 jamaah dan melukai puluhan orang.
Undang-undang pemberantasan terorisme Selandia Baru mulai diperkenalkan pada 2002, setelah serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat (AS).
Kemudian tuduhan tambahan pembunuhan dan dua tuduhan percobaan pembunuhan juga telah diajukan terhadap Tarrant. Untuk itu, terdakwa yang merupakan supremasi kulit putih menghadapi total 51 tuduhan pembunuhan dan 40 percobaan pembunuhan.
Pengacara Tarrant tidak segera menanggapi untuk memberikan komentar. Pakar hukum menyatakan, setiap hukuman karena terlibat dalam terorisme tidak akan membuat banyak perbedaan praktis, mengingat dakwaan pembunuhan membuat hukuman maksimum yang lebih tinggi. Akan tetapi kemungkinan ditambahkan untuk mencerminkan dampak traumatis bagi orang di luar korban yang disebutkan.
"Tuduhan aksi terorisme adalah tentang mengakui kerugian yang dirasakan masyarakat dan orang-orang yang dirugikan, mereka hadir tetapi yang tidak terluka atau terbunuh secara fisik," ucap seorang pengacara dan komentator hukum, Graeme Edgeler.
Setelah ditahan pada April, Tarrant selanjutnya akan muncul di pengadilan pada 14 Juni. Ia diperintahkan menjalani pemeriksaan kejiwaan untuk menentukan apakah ia layak diadili.
Polisi memberi informasi sekitar 200 anggota keluarga korban serangan dan penyintas tentang tuduhan tambahan pada pertemuan Selasa.
Salah satu keluarga korban, Mohamed Hussein Mostafa, yang ayahnya terbunuh di Masjid Al Noor, mengatakan, ia senang peristiwa itu diperlakukan sebagai tindakan teroris. Hal itu terutama mengingat komunitas Muslim telah sering difitnah oleh media dan politisi sebagai pelaku kekerasan sejak Serangan 9/11.
"Ini akan memperkuat pikiran orang bahwa terorisme tidak memiliki ras atau agama," kata Mostafa.
"Saya senang dia akan dijadikan contoh, sehingga kekejaman seperti itu tidak akan terjadi lagi di tempat kita," ujar Mostafa.
http://bit.ly/2YJG8Ef
May 21, 2019 at 02:49PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2YJG8Ef
via IFTTT
No comments:
Post a Comment