Pages

Wednesday, November 21, 2018

Dekan: Penanganan Kasus Pemerkosaan UGM Kurang Profesional

Sanksi diminta sejak awal tidak dijatuhi cuma kepada pelaku.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Tim Investigasi Ombudsman RI DIY baru saja melakukan pertemuan dengan Dekanat Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM). Dekan Fisipol UGM Erwan Agus Purwanto mengatakan, pertemuan itu guna memperoleh informasi dan kejelasan UGM dalam menangani kasus.

"Sudah kami jelaskan kronologi dari awal kejadian sampai hari ini muncul berbagai macam peristiwa, termasuk respons yang dilakukan universitas, jadi kronologis secara detail sudah kami sampaikan," kata Erwan, Rabu (21/11).

Mulai dari KKN di Pulau Seram, penanganan awal oleh Tim KKN UGM yang ada di lapangan, dan ranah yang dilakukan Fisipol setelah dilaporkan ke fakultas. Laporan dilakukan pada 20 Desember 2017.

Kemudian, pada 21 Desember 2017, wakil-wakil dekan yang menerima laporan melakukan rapat. Besoknya, surat kepada rektor disampaikan untuk meminta investigasi secara menyeluruh.

Surat turut meminta diberikan sanksi kepada pelaku dan pihak-pihak yang sudah menangani kasus tersebut. Artinya, sanksi diminta sejak awal tidak dijatuhi cuma kepada pelaku.

"Baik pelaku dan pihak-pihak yang sudah menangani kasus ini yang kita anggap kurang profesional," ujar Erwan yang ditemui di Dekanat Fisipol UGM tepat usai melakukan pertemuan dengan Ombudsman.

Setelah itu, pada 5 Januari 2018 Dekanat Fisipol diundang menghadiri rapat dengan Rektorat, KKN, perwakilan Fakultas Teknik dan pelaku. Erwan sendiri didampingi wakil dekan.

Pertemuan itu mengawali dibentuknya tim investigasi yang menyeluruh. Hasilnya, diberikan kepada Rektor UGM pada Juli 2018 yang dinilai seharusnya ditindaklanjuti secara terkoordinasi.

Erwan merasa penanganannya terlambat sehingga penyintas merasa tidak diperlakukan dengan adil. Akhirnya, muncul laporan di majalah Balairung pada 5 November 2018.

"Yang kami usulkan kepada rektor setelah peristiwa itu dimunculkan majalah Balairung, salah satunya penegasan kembali perlunya pemberian sanksi bagi pelaku, sanksi minimum mencegah pelaku wisuda," kata Erwan.

Kedua, ketika masalah ini dibawa ke ranah hukum, Fisipol UGM mengusulkan penyintas didampingi psikolog. Tujuannya, memastikan proses tidak membuat beban psikologis penyintas bertambah.

Menurut Erwan, usulan itu sudah dikabulkan saat penyintas dimintai keterangan Polda DIY dan Polda Maluku pada Senin (19/11). Penyintas didampingi lembaga Rifqa Annisa.

Selain itu, ia meminta proses etik dan hukum dilakukan secara paralel. Artinya, walau universitas melakukan proses etik dan akan diberikan sanksi, tetap ada proses hukum yang harus terus dikawal.

Terkait kasus yang terlunta-lunta, ia menambahkan, penyintas baru melaporkan dan merasa belum mendapat keadilan pada Desember 2017. Tepatnya, setelah nilai KKN penyintas keluar dan hanya diberikan C oleh pembimbing.

"Itu yang kemudian membuat penyintas melapor ke fakultas, tadinya fakultas tidak diberi tahu baik oleh penyintas maupun DPPM terkait peristiwa ini," ujar Erwan.

Menurut Erwan, keputusan melaporkan itu diambil karena penyintas sudah merasa menderita karena mengalami pelecehan seksual, tapi masih dihukum nilai C. Itu yang membuat penyintas merasa belum mendapat keadilan.

Soal keterlambatan laporan, ia menambahkan, KKN merupakan kegiatan universitas. Karenanya, jika tidak ada pihak-pihak yang mengabarkan, fakultas tidak akan mengetahui kejadian tersebut. Terkait tim etik yang telah dibentuk rektorat, Erwan merasa tim sudah terdiri dari perwakilan fakultas yang memiliki kompetensi, mulai Fakultas Hukum, Filsafat, FIB, dan Fisipol.

Let's block ads! (Why?)


https://ift.tt/2ztGJ2L
November 21, 2018 at 05:29PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2ztGJ2L
via IFTTT

No comments:

Post a Comment